Pernah dipertemukan dengan orang yang salah? Saya pernah. Berkali-kali malah.
Betapa pun saya kecewa, kesal dan marah, saya berusaha menyadari bahwa setiap orang yang dihadirkan dalam hidup saya, dipertemukan dengan saya, pasti mempunyai peranan sendiri. Ada yang kehadirannya membuat saya bertambah bahagia, membuat saya menjadi dewasa, membuat saya belajar mengontrol emosi, dan ada pula yang membuat saya menyadari betapa beruntungnya saya, karena saya tidak menjadikan kesedihan dan pengalaman buruk saya sebagai zona nyaman, sehingga saya enggan pindah dari zona tersebut.
Saya pernah dekat dengan seseorang untuk waktu yang sangat singkat, lebih pendek dari umur jagung. Ketika pertama bertemu, ada perasaan nyaman yang membuat hati ini berkata, "Oke, gimana kalau saya coba aja? Sepertinya dia cukup baik dan saya nyaman ada di dekatnya". Dan sang hati pun membuat keputusan, untuk terus mencoba dekat dan menjalani apa yang ada di depan mata saat itu, tanpa banyak bertanya apa yang ditawarkan hidup nantinya, what life has in store for both of us in the future. Jalani aja deh, dengan niat dan cara yang baik.
Dari dua kali, tiga kali, lima kali dan berkali-kali pembicaraan dan pertemuan, saya menemukan banyak hal yang mengurangi perasaan nyaman itu. Bahwa banyak hal yang tidak sesuai dengan idealisme saya. Tapi saya sadar, idealisme itu utopia. Setiap kekurangan dan kelebihan dalam hidup itu seperti dua sisi mata uang, menempel ketat, integral, tidak bisa dipisahkan. Dan saya pun berusaha untuk compromise.
On a lighter note, saya punya teman perempuan seusia saya, awal 40 an, yang bilang gini, " Sari, I stop compromising long ago. I compromised a lot once, but still it didn't work. So I stop compromising".
Saya tidak mengikuti Geraldine, teman saya itu. Saya berusaha kompromi, terutama dengan hati saya, dengan harapan bahwa kali ini mungkin akan berhasil. Tapi sayang sekali, seberapa pun besarnya saya meniadakan idealisme saya, sosok ini tidak bisa pindah dari zona nyaman masa lalunya yang mentraumakan. Dia mencintai zona itu, dia tidak bisa pindah dari situ.
Setelah berusaha, tidak sampai maksimal memang, saya sadar, apa pun yang saya lakukan, yang saya berikan, yang saya tiadakan, ini tidak akan berhasil. Saya berada pada titik antara senang dan sedih, bahwa apa yang telah saya mulai, sekali lagi tidak berjalan sesuai dengan harapan saya. Tapi untungnya, tidak memerlukan waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa ini tidak akan berhasil. Jadi saya tidak terlalu lama mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan materi untuk sesuatu yang nantinya akan sia-sia.
Paling tidak, saya mempelajari sesuatu dari sosok ini. Ternyata memang ada orang yang menjadikan kegagalan dan pengalaman buruk sebagai zona nyaman tempat dia hidup, dan menyombongkan hal itu. Ya, orang tidak hanya bisa sombong dengan kekayaan, keberhasilan dan hal-hal lainnya yang ekuivalen dengan itu. Tapi juga bisa menyombongkan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan hal-hal yang senada dengannya.
#Catatan sore di kantor.
Comments