Skip to main content

Featured

JEDA

Suatu ketika telinga butuh jeda dari bising dunia, dari suara-suara tanpa nada dan kata yang kehilangan makna. Layaknya malam, yang sejenak sembunyi dari hiruk pikuk siang, terik yang menyengat.  Berhentilah bersuara, berteriak, memaki, mengeluh, menghakimi, agar tenang sekejap dan angin memanjakan telinga.  Dan dunia tidak harus selalu dihiasi oleh suara sumbangmu. Maka berhentilah berbicara, untuk mendengarkan dunia. 

"Dibuang Sayang, Dimadu Perang"

 "Dibuang sayang, dimadu perang". Kalimat di pantat bus tua jurusan Tangerang - Bogor berbunyi seperti itu. Dan kalimat konyol itulah akar dari adu argumen sengit di suatu pagi Sabtu cerah damai sentosa berangin ringan. 


Buat saya, kalimat bodoh itu penghinaan terhadap perempuan, terutama istri-istri yang telah dinikahi oleh pria-pria yang seyogyanya harus dicintai, dilindungi, dinafkahi lahir batin dan dinaungi sebagai makmum dalam rumah tangga. Terlebih, istri-istri tersebut adalah ibu dari anak-anak mereka, jika mereka dikarunia anak. Tapi soal anak ini hanyalah nilai plus, bonus. Bukan berarti jika mereka tidak mampu memberikan keturunan, lantas harus berkurang segala hak dan penghormatan yang sejatinya mereka dapatkan. 


Jelas ini soal poligami, di mana jelas sekali dalam agama Islam diperbolehkan. Yang tidak jelas adalah alasan mereka yang berlaku poligami tersebut. Sebagian (sangat besar) laki-laki menggunakan tameng agama untuk meligitimasi perilaku poligami mereka, mengambil keuntungan dari hukum agama yang tidak mereka gali secara dalam dan menyeluruh, untuk mensahkan sifat tidak puas dan nafsu manusiawi mereka. Pada akhirnya, ini hanya merupakan pelecehan terhadap agama dan keyakinan mereka sendiri. 


Dan buat saya pribadi, saya bukan penganut poligami (tentu saja bukan, karena saya perempuan). Saya penganut paham "Selesaikan dulu hubungan yang lama, sebelum memulai hubungan yang baru". Argumen sengitpun berakhir. 

Comments

Popular Posts